HeadlineKesehatanPemerintah

Pemkab Bojonegoro Ajak Masyarakat Lebih Mengenali Dan Memahami Kelainan Refraksi.

473
×

Pemkab Bojonegoro Ajak Masyarakat Lebih Mengenali Dan Memahami Kelainan Refraksi.

Sebarkan artikel ini

BOJONEGORO — Pemkab Bojonegoro melalui Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan RSUD Sosodoro Djatikoesoemo mengajak masyarakat untuk menjaga kesehatan mata dengan mengenali dan memahami kelainan refraksi. Ajakan ini salah satunya lewat program siar radio SAPA! (Selamat Pagi!) Malowopati FM, edisi Rabu (14/6/2023).

Dipandu penyiar Lia Yunita, SAPA! Malowopati FM kali ini menghadirkan narasumber dr. Agung Pambudi, Sp.M dokter spesialis mata di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro. Siaran SAPA! Malowopati FM ini dapat diikuti secara live YouTube Malowopati Radio dan interaksi langsung melalui nomor WhatsApp 08113322958.

Dr. Agung Pambudi, Sp.M menjelaskan bahwa kelainan refraksi merupakan suatu kondisi mata tidak mampu mengatur fokus cahaya dengan jelas. Dampaknya pada penglihatan bayangan benda yang buram atau tidak tajam. Ada beberapa faktor penyebab, diantaranya kelainan bentuk bola mata yang terlalu panjang atau pendek, perubahan bentuk kornea, dan proses penuaan pada lensa mata.

Banyak orang tua salah mengartikan penyebab sakit mata pada anak mereka. Bahkan marah saat anak melihat TV atau menggunakan ponsel dalam jarak dekat. Hal itu menganggap bahwa itu menyebabkan sakit mata. Padahal, hal sebenarnya adalah sebaliknya. Jika anak mengalami kelainan refraksi, maka untuk melihat dengan jelas, ia harus mendekatkan mata ke objek yang dilihat.

Kelainan refraksi terbagi menjadi beberapa jenis, seperti minus atau rabun jauh (miopi), plus atau rabun dekat (hipermetropi), dan silinder (astigmatisme) yang merupakan kelainan bentuk kornea. Penting untuk dicatat bahwa kelainan refraksi bukanlah penyakit yang menular, melainkan kondisi bawaan atau genetik.

“Kelainan refraksi dapat terjadi pada segala usia dan gender. Salah satu penelitian menyatakan bahwa, jika salah satu orang tua menggunakan kacamata atau menderita kelainan refraksi, maka kemungkinan kelainan tersebut diturunkan kepada anaknya adalah sekitar 25%”, jelas dr. Agung.

Dalam mengatasi kelainan refraksi, pemakaian kacamata menjadi solusi yang umum dan paling aman digunakan. Namun, jenis kacamata yang diperlukan tergantung pada tingkat keparahan kelainan refraksi yang dialami. Pada beberapa kasus kelainan refraksi besar/berat, hanya dapat dikurangi dan tidak dapat disembuhkan.

Pada umumnya, tingkat minus 0-3 dianggap kecil, 3-6 sebagai tingkat sedang, dan di atas 6 sebagai tingkat besar. Jika tingkat minus mencapai 6 atau lebih besar, kacamata akan memiliki ketebalan yang signifikan, sehingga menurunkan estetika.

Untuk menghindari hal tersebut, penggunaan lensa kontak yang menempel langsung pada kornea mata dapat menjadi alternatif. Selain itu, ada juga metode lasik yang menggunakan alat laser untuk membentuk ulang kornea mata agar mencapai bentuk yang normal.

Dalam penjelasannya, dr. Agung Pambudi juga menekankan bahwa pertumbuhan mata berhenti pada usia 20 tahun. Oleh karena itu, bentuk bola mata masih dapat berubah atau dikoreksi menjadi normal sebelum mencapai usia tersebut.

“Untuk pemakai kacamata berusia di bawah 20 tahun, dianjurkan untuk memeriksakan kondisi mata setiap 6 bulan sekali. Karena pada usia tersebut, bola mata masih dalam masa pertumbuhan dan masih dapat mengalami perubahan bentuk. Bagi pemakai kacamata yang berusia di atas 20 tahun, disarankan untuk selalu memeriksakan mata setidaknya setahun sekali,” jelasnya.

Dr. Agung mengajak masyarakat Bojonegoro untuk selalu menjaga kesehatan mata. Karena mata merupakan satu-satunya bagian dari otak yang terpapar langsung dengan dunia luar. “Melalui pengetahuan dalam memahami kelainan refraksi dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya, kita dapat menjaga kualitas penglihatan dan kesehatan mata dengan lebih baik,” terangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *